Tari Gambyong
Tari Gambyong
adalah Seni tari yang berasal dari Surakarta Jawa Tengah. Awal mula
istilah Gambyong berawal dari nama seorang penari taledhek yang bernama
Gambyong yang hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Penari
ledhek yang bernama Gambyong ini memiliki kemnahiran dalam menari dan
kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman
itu. Istilah taledhek tersebut juga digunakan untuk menyebut penari tayub, penari taledhek, dan penari gambyong.
Ciri khas pertunjukan Tari Gambyong,
sebelum dimulai selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya
terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak
dengan irama kendang. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah
gerak tangan dengan memandang jari-jari tangan ,menjadikan faktor
dominan gerak-gerak tangan dalam eksGambyong
juga dapat diartikan sebagai tarian tunggal yang dilakukan oleh seorang
wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari
atau pesta tari. Gambyongan mempunyai arti menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukan wayang kulit sebagai penutup. presi tari Gambyong. Gerak kaki pada saat sikap beridiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis.
Seiring dengan perkembangan zaman, tari gambyong
mengalami perubahan dan perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Pada
awalnya, bentuk sajian tari gambyong didominasi oleh kreativitas dan
interpretasi penari dengan pengendang. Di dalam urut-urutan gerak tari
yang disajikan oleh penari berdasarkan pada pola atau musik gendang.
Perkembangan selanjutnya, tari gambyong lebih didominasi oleh
koreografi-koreografi tari gambyong.
Tari Serimpi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tari serimpi merupakan tari klasik yang berasal dari Jawa Tengah.[1][2] Tari klasik sendiri mempunyai arti sebuah tarian yang telah mencapai kristalisasi keindahan yang tinggi dan sudah ada sejak zaman masyarakat feodal serta lahir dan tumbuh di kalangan istana.[3]Kebudayaan tari yang sudah banyak dipentaskan ini memiliki gerak gemulai yang menggambarkan kesopanan, kehalusan budi, serta kelemah lembutan yang ditunjukkan dari gerakan yang pelan serta anggun dengan diiringi suara musik gamelan.[4][5] Tari serimpi Jawa ini dinilai mempunyai kemiripan dengan tari Pakarena dari Makasar, yakni dilihat dari segi kelembutan gerak para penari.[6]
Sejak dari zaman kuno, tari Serimpi sudah memiliki kedudukan yang istimewa di keraton-keraton Jawa dan tidak dapat disamakan dengan tari pentas yang lain karena sifatnya yang sakral.[7] Dulu tari ini hanya boleh dipentaskan oleh orang-orang yang dipilih keraton.[7] Serimpi memiliki tingkat kesakralan yang sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambang kekuasaan raja yang berasal dari zaman Jawa Hindu, meskipun sifatnya tidak sesakral tari Bedhaya.[7][8][9]
Dalam pagelaran, tari serimpi tidak selalu memerlukan sesajen seperti pada tari Bedhaya, melainkan hanya di waktu-waktu tertentu saja.[8] Adapun iringan musik untuk tari Serimpi adalah mengutamakan paduan suara gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.[8]
Serimpi sendiri telah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa, di antaranya durasi waktu pementasan.[10] Kini salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Tengah ini dikembangkan menjadi beberapa varian baru dengan durasi pertunjukan yang semakin singkat.[10] Sebagai contoh Srimpi Anglirmendhung menjadi 11 menit dan juga Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit yang awal penyajiannya berdurasi kurang lebih 60 menit.[11]
Selain waktu pagelaran, tari ini juga mengalami perkembangan dari segi pakaian.[12] Pakaian penari yang awalnya adalah seperti pakaian yang dikenakan oleh pengantin putri keraton dengan dodotan dan gelung bokor sebagai hiasan kepala, saat ini kostum penari beralih menjadi pakaian tanpa lengan, serta gelung rambut yang berhiaskan bunga ceplok, dan hiasan kepala berupa bulu burung kasuari.[12][13]
Sejarah dan filosofi
Kemunculan tari Serimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan Agung memerintah pada tahun 1613-1646.[14] Tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan dalam lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan sampai peringatan kenaikan tahta sultan.[14] Pada tahun 1775 Kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta.[14] Perpecahan ini berimbas pada tari Serimpi sehingga terjadi perbedaan gerakan, walaupun inti dari tariannya masih sama.[14] Tari ini muncul di lingkungan keraton Surakarta sekitar tahun 1788-1820.[10] Dan mulai tahun 1920-an dan seterusnya, latihan tari klasik ini dimasukkan ke dalam mata pelajaran Taman-taman siswa Yogyakarta dan dalam perkumpulan tari serta karawitan Krida Beksa Wirama.[8] Setelah Indonesia merdeka, tari ini kemudian juga diajarkan di akademi-akademi seni tari dan karawitan pemerintah, baik di Solo maupun di Yogyakarta.[8]Awalnya tari ini bernama Srimpi Sangopati yang merujuk pada suatu pengertian, yakni calon pengganti raja.[15] Namun, Serimpi sendiri juga mempunyai arti perempuan.[16] Pendapat yang lain, menurut Dr. Priyono, nama serimpi dapat dikaitkan ke akar kata “impi” atau mimpi.[14] Maksudnya adalah ketika menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang 3/4 hingga 1 jam itu, para penonton seperti dibawa ke alam lain, yakni alam mimpi.[14]
Kemudian terkait dengan komposisinya, menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari Serimpi melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia yakni: Grama ( api), Angin ( udara), Toya (air), Bumi ( tanah).[10][14][17] Komposisinya yang terdiri dari empat orang tersebut membentuk segi empat yang melambangkan tiang pendopo.[14] Adapun yang digambarkan dalam pagelaran tari serimpi adalah perangnya pahlawan-pahlawan dalam cerita Menak, Purwa, Mahabarata, Ramayana, sejarah Jawa dan yang lain atau dapat juga dikatakan sebagai tarian yang mengisahkan pertempuran yang dilambangkan dalam dua kubu (satu kubu berarti terdiri dari dua penari) yang terlibat dalam suatu peperangan.[16][17][18] Tema yang ditampilkan pada tari Serimpi sebenarnya sama dengan tema pada tari Bedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian antara dua Hal. yang bertentangan antara baik dan buruk, antara benar dan salah, serta antara akal manusia dan nafsunya.[14] Keempat penarinya biasanya berperan sebagai Batak, Gulu, Dhada dan Buncit.[10]
Tema perang dalam tari Serimpi menurut Raden Mas Wisnu Wardhana, merupakan penggambaran falsafah hidup ketimuran.[14] Peperangan dalam tari Serimpi merupakan simbol pertarungan yang tak kunjung habis antara kebaikan dan kejahatan.[14] Bahkan tari Serimpi dalam mengekspresikan gerakan tari perang terlihat lebih jelas karena dilakukan dengan gerakan yang sama dari dua pasang prajurit melawan prajurit yang lain dengan bantuan properti tari berupa senjata.[14] Senjata yang digunakan dalam tari ini, antara lain berupa keris kecil atau cundrik, jembeng (semacam perisak), dan tombak pendek.[14] Pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII, yaitu pada abad ke-19, ada pula tari Serimpi yang senjatanya berupa pistol yang ditembakkan ke arah bawah.[12]
Pertunjukkan tari asal Jawa Tengah ini biasanya berada di awal acara karena berfungsi sebagai tari pembuka, selain itu, tari ini terkadang juga ditampilkan ketika ada pementasan wayang orang.[16][19] Sampai sekarang tari Serimpi masih dianggap sebagai seni yang adhiluhung serta merupakan pusaka keraton.[14]
Jenis-jenis
Tarian Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, dan Serimpi Genjung.[14][20] Untuk Kesultanan Surakarta, Serimpi digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendung dan Serimpi Bondan.[14] Salah satu jenis tari Serimpi yang lain adalah Serimpi Renggawati yang dipentaskann oleh lima orang, yakni empat penari ditambah dengan satu penari sebagai putri Renggawati.[18] Adapun kisah yang diceritakan adalah kisah Angling Dharma, seorang putra mahkota yang masih muda dan terkena kutukan menjadi burung Mliwis.[18] Dia akan dapat kembali ke wujud semula jika badannya tersentuh oleh tangan seorang putri cantik jelita (putri Renggawati).[18] Semua peristiwa ini dicerminkan dalam tari-tarian yang digelar oleh para penari serimpi Renggawati yang diakhiri dengan sebuah kebahagiaan.[18]Di luar tembok keraton, ada tari Serimpi yang juga ditarikan oleh lima penari, yakni Serimpi Lima.[9] Tari ini berkembang di wilayah pedesaan, yakni di tengah-tengah masyarakat desa Ngadireso, kecamatan Poncokusumo, kabupaten Malang, Jawa Timur.[9] Di desa Ngadireso, Serimpi akan digelar saat ada upacara ruwatan, yakni suatu proses pembersihan diri yang bertujuan untuk menghilangkan nasib buruk serta aura negatif dalam diri seseorang yang dilakukan dengan cara tertentu.[21][22] Adapun ruwatan yang dilakukan adalah ruwatan murwakala, yakni ruwatan yang dilakukan untuk menyelamatkan atau melindungi seseorang yang diyakini akan menjadi mangsa atau makananan Bethara Kala.[9] Meskipun begitu, Serimpi ini bertemakan kegembiraan, erotik, dan sakral.[23] Serimpi Lima merupakan wujud dari gagasan dan aktivitas masyarakat pemiliknya.[23] Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural karena dalam lingkungan etnik, perilaku mempunyai wewenang yang amat besar dalam menentukan keberadaan kesenian termasuk tari tradisional.[23]
Bentuk serimpi tertua menurut sumber tertulis, diciptakan oleh Sri Pakubuwana V pada tahun Jawa 1748 atau sekitar tahun 1820-1823, yakni Serimpi Ludiramadu.[2] Tari ini diciptakan olehnya untuk mengenang ibunya yang berdarah Madura.[24] Untuk bentuk terbaru serimpi adalah Serimpi Pondelori, gubahan para guru perkumpulan tari Yogyakarta, kemudian ada Among Beksa yang dipentaskan oleh delapan orang penari dengan mengambil tema Menak.[2]
Serimpi Pondelori sendiri adalah suatu bentuk tari Serimpi khas Yogyakarta yang dipentaskan oleh empat orang.[15] Isinya adalah sebuah pertengkaran antara Dewi Sirtupilaeli dan Dewi Sudarawerti yang memperebutkan cinta dari Wong Agung Jayengrana, pangeran dari negeri Arab.[15]. Di akhir cerita tidak terjadi kekalahan maupun kemenangan karena dua kubu yang berseteru akhirnya semua dinikahi oleh pangeran.[15]
Kemudian ada tari Serimpi Cina.[15] Yang membedakan dari tari ini adalah penarinya mengenakan baju khas orang Cina.[15] Biasanya tari yang satu ini dibawakan di Istana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.[15]
Selanjutnya adalah tari Serimpi Pamugrari, dinamakan seperti itu karena musik pengiringnya menggunakan gending pramugari.[15] Untuk senjata yang dibawa saat menari adalah pistol.[15]
Tari Golek Sri Rejeki, Wujud Kesetiaan Rakyat pada Raja
Menurut Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KP Winarno Kusumo, tarian tersebut melambangkan tentang kecantikan dan kemolekan gadis-gadis yang sedang bersolek ketika mereka beranjak dewasa.
Gerakan lembut nan gemulai membuat tarian tersebut terkesan elegan dan menarik. Tak hanya itu, konon selain menampilkan kemolekan gadis-gadis cantik tersebut juga sebagai simbol kesiapan para gadis dalam membela kerajaan saat mengalami ancaman dari kerajaan lain.
“Tarian ini menyimbolkan kecantikan sekaligus kesiapan para gadis dalam membela keraton saat terjadi ancaman dari kerajaan lain,” ucapnya.
Lebih lanjut dijelaskan, tarian tersebut biasanya ditarikan di hadapan raja sebagai wujud hiburan dari rakyat sekaligus wujud kesetiaan dari seluruh rakyat Keraton Kasunanan Surakarta.
“Tarian ini merupakan wujud kesetiaan dari rakyat untuk rajanya,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar